AKU
DAN SAHABAT
Sepertinya setiap orang pernah punya teman
terdekat atau sahabat. Pastinya setiap individu juga punya pengalaman
sendiri-sendiri. Sahabat seperti orangtua sendiri, pacar, saudara, teman,
kakak, adik entah laki-laki/ perempuan identitasnya. Pokoknya yang dikatakan
sahabat itu adalah seseorang yang kita anggap nyaman ketika kita sedang
bersedih, bahagia, punya rahasia, sedang jatuh cinta, pokoknya sahabat lah yang
paling sering mendengar ocehan kita.
Kawan, pastinya ada kenangan-kenangan indah
yang sudah dilalui bersama sahabat. Tentu tidak luput juga, ketika persahabatan
itu sedang dilanda emosi. Merasakan masa-masa paling tidak enak. Seperti
bertengkar dengan sahabat. Kawan, itulah hidup. Setiap manusia diciptakan tanpa
noda. Ujian seperti itu justru harusnya menjadikan kita sebagai dewasa yang
bijak. Bukan sebaliknya, malah untuk menegaskan sifat ke”aku”an. Misalnya,
“Aku tidak salah, dia yang selalu menyalahkan
aku.”
“Aku kan sudah minta maaf, salahnya dia yang
tidak mau maafin aku.”
“Aku selalu disudutkan dia. Dia tidak pernah
merasakan jadi aku.”
ooooh dan bla_bla_bla….
Kawan, jangan dikira yang nulis blog ini itu
perfecttoo ya sampai bisa ngejelasin alasan-alasan antar sahabat sedang dilanda
prahara.
Justru, penulis merasa itu pengalaman pribadi…
ahahahaha…
Kawan, terkadang sampai kita mau kekeuh
bilang “aku yang paling benar (meskipun sebenarnya memang kita benar).” Tapi,
jurus itu tidak membuat sahabat kita mengalah dan menyadari kalau dia juga
salah.
Bete nggak sih, , ,
Aku pakai jurus Tanya segala, jelas bĂȘte bangetlah
yuaaa…
akhirnya, terpaksa dan memberi peluang dengan
membiarkan keputusan “AKU” merajalela. Ya sudahlah, biarin putus
persahabatanku. Nanti juga aku dapat sahabat baru. Haduuuuh, please dewwh
seddikiiiiiit dewasa.
Coba, bayangin ketika kita sedang berdua
dengan sahabat. Saat kita main bersama, jalan-jalan bersama, liburan bersama,
nginep di rumah sahabat. Bayangin dewh, saat Ibu sahabat kita sedang menyiapkan
cemilan saat bercanda bareng di ruang keluarga. Belum lagi, pagi-pagi Ibu
sahabat kita membangunkan kita untuk sholat. Kemudian, buru-buru Ibu sahabat
menyiapkan sarapan pagi untuk kita… dan masih banyak lagi.
Ah, berat-bera-berat rasanya melepas
sahabatku untuk pergi meninggalkan kita.
Bukan sepertinya, tapi tentu saja
keputusannya adalah “MENGALAH.”
Ya, seperti itulah pelajaran yang bisa
diambil dari sebuah persahabatan. Kita dipaksa untuk melihat diri sendiri.
Sedih sekali orang-orang yang punya banyak masalah, meskipun masalah sepele.
Jujur deh kawan, rasanya gelisah kan, tidak ceria. Rasanya seperti ada beban.
Nah, rasa gelisah itu yang sebenarnya membuat diri sendiri menjadi sensitif.
Hmmm, mudah marah mudah jengkel, dan lain sebagainya. Parah dewh pokoknya
akibatnya. Apalagi sasaran akibat dari kesensitifan kita itu adalah orang
sekitar kita. Seperti, orangtua, teman, dan lain-lain. So, bertumpuk-tumpuklah
masalah-masalah-masalah.
Ya seperti itulah akibat dari sifat ke”AKU”an.
Ya, begitulah resikonya. Memang berat sekali seperti mengangkat beton keegoisan
pastinya untuk mengucapkan kata “MAAF, AKU YANG SALAH.” Tapi kawan, jangan jadikan
“KATA MAAF” juga sebagai sasaran empuk kegoisan kita lho. Seperti, mengatakan
kata maaf dengan penuh kesombongan dan berat hati. Haduuuh, itu mah sama aja
kali. Bukannya luka bersama menjadi sembuh, tapi jadi seperti ditetesin cairan
panas.
Yaa, mulailah dengan niat yang baik itu
dengan penuh perasaan. Yakniii, ngomonglah kepada sahabat dengan santun, lemah
lembut, dan rendah hatiiii. Paling tidak, sahabat kita akan dongkol hari ini
saja. Nanti juga sampai rumah akan mikirmikir betapa berharganya memiliki
sahabat seperti “AKU.”
Oke kawan, jadikan “AKU” bermakna positif
bagi sahabat kita.
perfectooo…
"Rasa kehilangan hanya akan ada, Jika kau pernah merasa memilikinya"