Senin, 26 Mei 2014

MANISAN MANIS ASAM BUAH MANGGA



MANISAN MANIS ASAM BUAH MANGGA

Ani Qudsiy*

Pagi itu, Ibu Lala berniat memberi kejutan untuk ulang tahun Lala. Ibu Lala ingin memberi kado yang berbeda. Karena Lala sangat menyukai buah mangga, maka Ibu Lala punya ide untuk mengado Lala dengan buah mangga.
Ibu Lala bergegas menuju pasar yang jaraknya tidak jauh dari rumah Lala. Ibu Lala segera menuju toko buah. Namun, sayang sekali ternyata stok buah mangga di toko tersebut sedang habis. Padahal Ibu Lala ingin mengado Lala dengan sekeranjang buah mangga.
Akhirnya, Ibu Lala memutuskan membuat makanan kesukaan Lala yaitu nasi goreng cumi bakar. Ibu Lala langsung bergegas membeli cumi-cumi di kios ikan bagian dalam pasar.
Ketika Ibu Lala sedang memilih-milih cumi, tiba-tiba datang seorang yang terlihat kumal membawa sekeranjang buah mangga. Tentu saja, Ibu Lala langsung menghampirinya. Akan tetapi, Ibu Lala sangat kecewa, ternyata mangga tersebut masih belum masak. Akhirnya, Ibu Lala tidak jadi membeli mangga tersebut lalu meninggalkan penjual mangga.
Setelah keluar dari pasar, Ibu Lala melihat pemandangan yang mengharukan. Seorang penjual mangga muda yang ditemui di dalam pasar sedang berlari menghampiri istrinya yang tergopoh-gopoh menggendong anaknya. Karena merasa iba, akhirnya Ibu Lala menghampirinya. Ibu Lala bertanya apa yang telah terjadi, ternyata anak penjual mangga muda itu sedang sakit. Ia membutuhkan uang untuk biaya berobat anaknya.
Tanpa berpikir panjang, akhirnya Ibu Lala membeli mangga muda yang dibawa penjual mangga. Istri penjual mangga itu sangat berterima kasih atas kebaikan Ibu Lala.
Ibu Lala bergegas pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Ibu Lala bingung melihat sekeranjang buah mangga yang begitu banyak.
“Padahal ibu berniat membelikanmu buah mangga yang manis dan lezat La. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain, ternyata buah mangga muda yang ibu bawa pulang.” gumam Ibu Lala di dalam hati.
Sekeranjang buah mangga muda pun dibiarkan tergeltak begitu saja di pojok dapur. Pagi itu, Ibu Lala terlihat tidak bersemangat sambil membuat nasi goreng cumi bakar untuk Lala. Tiba-tiba, Ibu Lala membayangkan tentang manisan. Lala menyukai manisan yang dijual di toko-toko.
“Bagaimana kalau mangga ini Ibu buat manisan ya, kan lebih sehat.” Gumam Ibu kembali.
Akhirnya Ibu Lala segera mengupas mangga-mangga tersebut. Lalu diiris tipis-tipis.  Irisan mangga terus direndam pakai garam sampai rata. Setelah beberapa jam, irisan mangga dicuci sampai bersih. Tahap terakhir, mangga direndam pakai gula pasir sampai rata.
“Masih jam 11:00, sambil menunggu Lala pulang, jadi deh manisan buah mangganya.” Seru Ibu Lala.
***
Lala sudah pulang sekolah. Ibu Lala sengaja merahasiakan tentang manisan buah mangga. Ibu Lala berniat memberikannya pada saat makan malam.
“Nasi goreng cumi bakar sudah siap… ” Seru Ibu.
Lala sigap menghampiri ibu tanpa pikir panjang. Terdengar suara keroncong dari perut Lala yang merdu. Lala pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu.
“Terima kasih Bu.”
“Jangan terburu-buru kalau makan La, cuci tangan dan berdoa dulu.”
“Siap Bu.”
***
Ayah, Ibu, dan Lala berkumpul bersama di meja makan bersiap untuk makan malam. Ibu Lala menghidangkan manisan buah mangga buat Lala.  Tentu saja Lala terkejut. Ayah dan Lala segera mencicipi manisan tersebut. Waow, ternyata rasanya juga mengejutkan.
Ayah dan Lala terlihat meringis saat mencicipi manisan buah mangga. Ibu Lala menertawakan mereka berdua. Diam-diam Ibu Lala merahasiakan sesuatu. Resep manisan buah mangga ada yang salah. Ternyata, saat merendam irisan buah mangga seharusnya butuh waktu berhari-hari supaya rasa asamnya mangga hilang. Tapi, Ibu Lala hebat, telah membuat manisan buah mangga siap saji secepat kilat.
Manisan buah mangga yang tidak manis. Malam itu meja makan Lala jadi rame dengan kekompakan Ayah, Ibu, dan Lala yang tertawa geli. Akhirnya, mereka bertiga sepakat memberi nama manisan manis asam buah mangga sebagai kado ulang tahun Lala yang ke sepuluh. Tentu saja, Lala merasa bahagia. Kado itu menjadi kado sederhana yang istimewa bagi Lala.
“Terima kasih Ayah dan Ibu.” Seru Lala.




ASAL USUL MANGGA HARUM MANIS



ASAL USUL MANGGA HARUM MANIS

Ani Qudsiy*

Sore itu Lala membawa pulang sekeranjang buah mangga harum manis. Ibu Lala terlihat gembira.
“Malam ini kita akan pesta mangga ya La.”
“Iya Bu.” Jawab Lala.
Makan malam telah tiba. Di atas meja telah siap mangga harum manis hasil kupasan Ibu.
“Lezat sekali.” ungkap Ayah.
Sambil menikmati masakan ibu, ayah bercerita tentang asal usul mangga harum manis yang manis yang harum dan manis.
Konon pada jaman dahulu, ada seorang peri bernama Peri Awan yang menemukan buah tak bernama itu di sungai. Peri Awan yang penasaran akhirnya mengambil buah tak bernama itu. Peri Awan pun bingung bagaimana cara memakan buah tak bernama. Akhirnya, Peri Awan berniat membawa pulang buah tersebut.
Sesampai di istana, para peri-peri langit berkumpul melihat buah yang dibawa temannya. Buah tak bernama itu akhirnya dikupas dan dipotong-potong. Para peri langit bersemangat mencicipi buah itu. Betapa terkejutnya para peri, ternyata buah tersebut terasa sangat asam.
Peri Awan akhirnya melempar buah tak bernama ke luar istana. Betapa terkejutnya, ternyata lemparan sisa buah itu mengenai kepala Peri Mega yang sedang berjalan-jalan mengelilingi istana.
Peri Mega segera mengambil benda yang telah melukai kepalanya. “Waow, buah apa ini ?”
Peri Mega membawa pulang buah tak bernama itu ke istananya. Buah itu diberikan kepada Ibu Peri Mega. Kebetulan sekali Ibu Peri Mega sangat menyayangi tumbuhan. Akhirnya Ibu Peri Mega berniat untuk menanam biji buah tak bernama.
Dengan kekuatan Ibu Peri Mega, biji buah tak bernama tumbuh besar dengan cepat dan berbuah sangat lebat. Ibu Peri Mega tampak takjub melihat pohon buah tak bernama. Sampai akhirnya, kabar pohon buah tak bernama itu terdengar ke seluruh penjuru negeri langit.
Para Awan dan peri-peri langit memutuskan untuk berkunjung ke rumah Peri Mega melihat pohon buah tak bernama.
“Indah sekali.” Bisik para peri.
“Bagaimana kalau pohon buah ini diberi nama.” Usul Peri Awan.
“Itu ide bagus, tapi diberi nama apa ?” Tanya Ibu Peri Mega.
“Bagaimana kalau pohon buah mengga, dalam bahasa Bangsa peri, mengga artinya bulan. Buah ini bulat seperti bulan.” Jelas Peri Awan.
“Iya, setuju, nama itu juga hampir mirip dengan nama Peri Mega pemilik buah ini” Sahut Peri Cahaya.
“Nah, begitulah asalnya nama buah mengga. Kalau manusia menyebutnya buah mangga.” Terang Ayah.
“Teruskan asal usul harum manisnya Yah ?” Tanya Lala dengan penuh penasaran dengan mimik wajah memelas. Biasanya ayah mengucapkan kata bersambung, biar Lala penasaran.
Ayah pun segera melanjutkan ceritanya. Buah mengga terlalu banyak. Para peri langit mencari ide bagaimana cara menjadikan buah mengga manis. Akhirnya, ditemukan ide yaitu menaburkan bubuk madu pada setiap buah mengga. Para peri saling bergotong royong menaburkan bubuk madu pada buah mengga.
Setelah menunggu beberapa minggu, buah mengga sudah tampak ranum dan berbau harum. Para peri bingung, kenapa buah mengga mengeluarkan bau harum dan saling bertanya.
Saat itu, Peri Mega tiba-tiba mengakui perbuatannya. Pada waktu mengambil bubuk madu, ternyata Peri Mega salah ambil bubuk bunga. Al hasil, buah mengga tidak berasa manis saja, tetapi jadi manis dan harum. Para peri tertawa geli setelah mendengar pengakuan dari Peri Mega. Sekarang, nama panjang buah mengga menjadi mengga harum manis.
***
Panen buah mengga harum manis telah tiba. Para peri langit merayakannya dengan sebuah pesta kebun. Para peri tampak sangat bahagia karena bisa menikmati hasil buah mengga harum manis bersama-sama. Negeri langit terdengar sangat riuh dengan tawa kebahagian para peri.
“Sudah selesai. Sekarang Lala cepat tidur, besok kan upacara, harus berangkat lebih awal.” Seru Ibu.
Lala mengangguki perintah Ibu kemudian segera mencuci kaki dan menggosok gigi.
“Jangan lupa berdoa.” Ibu berseru kembali.

BUAH-BUAH MANGGA JATUH DI PAGI HARI



BUAH-BUAH MANGGA JATUH DI PAGI HARI

Ani Qudsiy*

Pak Beno adalah ayah Rangga. Ia sangat menyukai tumbuh-tumbuhan. Di taman Pak Beno, banyak ditumbuhi bunga-bunga dan berbagai pohon kecil yang sudah berbuah seperti pohon tomat, pohon cabai, pohon terong, dan sebagainya.
Terlihat di halaman rumah Pak Beno, terdapat macam-macam pohon mangga. Ada mangga gadung, mangga harum manis, mangga apel, mangga manalagi, juga mangga golek. Kata Pak Beno, masing-masing pohon mangganya berusia sama seperti Rangga.
Sekarang Rangga berumur Sepuluh tahun. Ia duduk di bangku kelas empat SD sama seperti Lala. Rangga dan Lala sudah bersahabat sejak kelas dua SD. Setiap hari minggu, mereka berdua pasti belajar kelompok. Jadwal minggu ini adalah belajar kelompok di rumah Rangga. Mereka berdua pulang sekolah bersama-sama.
“Asyik, besok belajar kelompok di rumahmu ya Ga ?” Tanya Lala.
“Iya, jangan lupa besok ya La” Jawab Rangga.
“Oke, eh, minggu kemarin kamu sudah janji akan memetikan buah mangga lho Ga ?”
“Ya, aku tidak lupa La, kebetulan ada sebagian mangga yang sudah masak dan ranum. Besok sekalian kita makan mangga ya ?” Jelas Rangga.
“Oke, Siap. Sampai bertemu besok ya Ga?” Salam Lala.
Mereka berdua akhirnya berpisah di persimpangan jalan.
***
 Hari minggu telah tiba. Tepat jam Sembilan pagi, Lala bersiap menuju rumah Rangga. Lala melaju sambil mengayuh sepeda kesayangannya. Perjalanan menuju rumah Rangga tidak terlalu jauh. Kira-kira lima belas menit kalau berjalan kaki.
Tepat pukul sembilan lewat sepuluh menit, Lala sudah sampai di rumah Rangga. Lala takjub melihat pohon-pohon mangga Rangga. Halaman rumah Rangga jadi seperti perkebunan mangga. Seluruh pohon mangga Rangga sangat lebat buahnya. Lala pun jadi tambah bersemangat belajar setelah melihat pemandangan hari itu.
“Assalamualaikum… tok-tok-tok !!!” Lala mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam…”
Terdengar suara Pak Beno menjawab salam dan membukakan pintu. Lala segera mencium tangan Pak Beno dan bergegas masuk ke rumah.
“Rangga lagi ngapain Pak ?” Tanya Lala.
“ Baru saja mandi, tunggu sebentar ya ?” Jawab Pak Beno.
Sambil menunggu Rangga selesai mandi, Pak Beno mengajak Lala melihat pohon-pohon mangga di halaman rumahnya. Tentu saja, Lala dengan senang hati menerima ajakan dari Pak Beno.
Lala memang senang berpetualang. Sudah dipastikan seratus persen kalau Lala pasti akan banyak bertanya. Seperti di dalam kelas, ia terkenal sebagai anak yang suka bertanya.
“ Waow, pemandangannya seperti di perkebunan mangga ya Pak ?”
“Tentu saja La, Udaranya juga menjadi sejuk, karena sinar matahari sibuk dengan pekerjaannya.” Jelas Pak Beno.
“Mataharinya sibuk ngapain Pak ?”
“Tentu saja sibuk melakukan pekerjaannya yaitu proses fotosintesis La.”
Wah, sudah dibayangkan, pasti pertanyaan Lala akan berbuntut panjang. Akhirnya Lala melanjutkan pertanyaan lagi kepada Pak Beno. Ia penasaran.
“Apa itu fotosintesis Pak ?”
“Proses fotosintesis itu proses tumbuh-tumbuhan mengubah cahaya matahari menjadi O2. Hayo, Lala tahu O2 itu apa ?” Tanya Pak Beno.
“Oksigen Pak” Lala jawab dengan antusias.
Sebelum melanjutkan percakapan antara Pak Beno dan Lala, akhirnya Rangga selesai juga mandinya. Ia segera menyusul ke halaman rumah.
Pak Beno melanjutkan ceritanya. “Jadi tumbuh-tumbuhan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Karena tumbuhan menghasilkan oksigen. Oksigen dibutuhkan untuk bernafas. Bayangkan kalau manusia bernafas dengan oksigen yang kotor tercampur debu-debu. Tentu saja, debu-debu itu akan terhirup dan masuk ke dalam tubuh kita.”
Rangga dan Lala sangat bersemangat mendengar cerita dari Pak Beno.
“Pelajaran apa yang akan kalian pelajari ?” Tanya Pak Beno.
“IPA Yah, tentang tumbuh-tumbuhan.” Jawab Rangga.
“Wah kebetulan sekali tadi ayah bisa bercerita tentang tumbuhan. Ya sudah, selamat belajar.”
***
 Rangga dan Lala sudah selesai belajar. Pak Beno lalu memberi hadiah kepada mereka berdua. Yaitu, mengajak memetik mangga yang sudah masak kesukaan mereka.
Lala memilih mencoba mangga apel. Mangga apel mirip seperti buah apel. Bulat dan ada warna merah disebagian kulitnya. Rangga memilih mangga gadung kesukaannya. Sedangkan Pak Beno, ia memetik mangga harum manis.
Lala terlihat meringis saat mencicipi buah mangga apel. Pak Beno dan Rangga menertawainya.
“Rasanya asem, tidak seperti buah apel.” Kata Lala.
Rangga kasian melihat Lala, ia pun mencicipi mangga gadungnya, “nah, kalau ini manis La, cobain deh!”
Sambil menikmati makan mangga, Lala tidak lupa dengan kebiasaan bertanyanya.
“Pak, Kenapa buah mangga jatuhnya di pagi hari ?”
“Kan kalau pagi hari biar ada yang nolong La…” Jawab Rangga sekenanya.
“Betul, kamu yang nolong kan…” Sahut Lala sebel.
“Baiklah, kalau di sini mangganya suka jatuh di pagi hari, karenaaaa… mangganya sudah masak, hahahaha…” Jawab Pak Beno dengan nada meledek sekenanya juga.
Mereka bertiga tertawa bersama lalu masuk ke dalam rumah sambil membawa sekeranjang buah beraneka macam buah mangga.

BLACKSWEET CINTA SOPANA*



BLACKSWEET CINTA SOPANA*

Ani Qudsiy*

Sopana merenung bingung. Saban kali terbayang senyum tipisnya, dia akan bertambah bingung. Kalau boleh bertanya, kenapa jantungnya bisa memacu gasnya cepat dan semakin cepat setiap bertemu. Padahal Sopana merasa tak punya ikatan batin. Barangkali benar para musisi, penyair, bergegas menyulap kata-kata beraroma cinta pandangan pertama. Liriknya, syairnya, fragmennya, penuh gelora blacksweet yang begitu nikmat.
Blacksweet cinta Sopana mungkin agak sama seperti rasa roti, atau barangkali martabak manis. Manis, asin, gurih. Sopana begitu menikmati sakit yang begitu masokhisme. Meski sekedar melihat, sungguh getaran-getaran gaib itu sangat menghipnotis. Kalau boleh, Sopana ingin sekali berkenalan dengannya.
“Pria itu terlalu angkuh. Terlalu jual mahal. Bagaimana bisa, pria itu tak tertarik padaku” Sopana ingin cari perhatian. Esok, pagi-pagi sekali, dia akan lewat depan rumah lelaki itu.
Sopana sudah berputar macam towaf tujuh kali putaran bolak-balik depan rumah sampai belakang gang rumah. Lelaki yang dinantinya ternyata tak segera menampakan sosoknya. Sopana mengakhiri joggingnya dengan peluh yang deras mengucur.
Cinta sungguh senang mempermainkan peran. Baru saja masuk rumah, lelaki itu lewat. Dia tampak melihat teras rumah dengan senyum tipisnya yang terus mengembang. Jantung Sopana semakin berdebar. Dia menyesal mengapa harus membuka korden jendela.
“Jika saja aku masih di depan pintu barang sebentar saja, pasti pria itu melihat balasan senyuman dariku” Sopana benar-benar sedang dipermainkan oleh cinta.
 Sopana asyik dengan kisahnya. Dia gadis pendatang. Beruntungnya dia, belum lama pindahan, sudah dapat pekerjaan. Walhasil sebagai batu loncatan sekalian cari jodoh. Aih… beruntungnya baru datang sudah menabung lelaki pujaan. Tinggal berdekatan, bisa lihat jendela rumah lelaki itu lewat jendela kamar Sopana. Sungguh, macam drama-drama di televisi.
“Ketampanan pria itu macam Nabi Yusuf. Fiuh… pantaslah kalau kau begitu angkuh” Sopana selalu begitu.
***
Malam itu Sopana sengaja duduk di teras depan. Sambil menunggu lelaki itu pulang. Dia benar-benar kasmaran. Tak tau malu. Perempuan kok cari muka sama lelaki yang belum dikenal. Aih… cinta tak akan pernah kehabisan cerita. Bahkan dia dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.
Lelaki itu tak kunjung pulang. Sopana begitu mengantuk. Dia pun segera masuk. Musim dingin. “Sedingin hatiku jika tak melihat Yusufku barang sebentar”, keluh Sopana. Kata-kata Sopana setajam silet, tentu dikabulkan. Baru dia menutup korden jendela, lelaki itu pulang dengan senyum kebiasaannya. Dia melihat teras rumah. Senyum tipisnya menghilangkan lelah kuyu sebab kerjanya. Sopana hanya bisa teriak dan menggerutu, kenapa tak sabar menunggu Yusufnya pulang, barang tambah sebentar. Tapi waktu selalu menyimpan rahasia.
Langit nampak menertawakan Sopana. Tapi bulan sepertinya tahu hati Sopana. dia tampak merengut di sekelilingi awan yang kelabu. Sopana bergegas tidur. Dia ingin bertemu Yusufnya lewat mimpi. Senyum Sopana mengembang lalu tertidur sampai matahari tengah mengambang.
Sopana cepat-cepat membasuh muka. Dia tak ingin melewatkan Yusufnya. Dia bersiap-siap, berharap akan berpapasan saat berangkat kerja. Benarlah ucapan Sopana selalu dikabulkan. Lelaki itu mengangguk pelan dengan senyuman tipis kebiasaannya. Sopana bingung mengatur irama jantungnya. Dia tak tahu diuntung. Sudah berpapasan langsung harusnya dia mengangguk dengan senyuman. Aih, ternyara Sopana hanya melongo melihat Yusufnya. Macam, burung dungu. Sopana kemudian menyesali sikapnya. Cinta sungguh pandai bermain peran.
Getaran-getaran gaib itu semakin menjadi-jadi. Sopana semakin tergila-gila. Semua itu sudah terlihat dari sikapnya yang sekian menggila. Tapi, Sopana tak punya nyali. Dia hanya bisa menabur dan menebar pesona. Dia terlalu yakin kalau Yusufnya juga merasa getar-getar gaib ketika melihatnya. Sungguh terlalu yakin.
***
Sampai detik ini, menit ini, jam ini, Sopana masih belum tahu siapa nama Yusufnya. Dia terlalu tenggelam menikmati kisahnya yang sakit-masokhisme-cinta.
“Pria macam apa dia, kenapa tak ingin tahu siapa namaku. Atau nomor teleponku”, Sopana terlalu percaya diri.
Setiap kali bertemu lelaki itu, Sopana masih tak bisa mengatur irama jantungnya. Sikapnya terlalu transparan kalau sedang dimabuk cinta. Malu harusnya. Tapi, Sopana sudah tak mengerti malu.
Akhir-akhir ini, lelaki itu tidak tersenyum tipis. Dia tersenyum lebar setiap melihat sikap Sopana yang begitu menggelitik geli. Pernah sekali Sopana tiba-tiba melambaikan tangan kepada lelaki itu. Itu sungguh tidak wajar kalau belum kenal. Sopana sendiri merasa linglung dengan sikapnya. Sungguh menggelikan.
Lelaki itu tak pernah besar kepala. Dia bahkan tak meremehkan serangkaian gelagat Sopana. Dia hanya berisyarat seolah belum berniat kawin cepat-cepat. Dia selalu santun dan pandai menata irama jantungnya ketika bertemu dengan Sopana. Tapi, Sopana terlihat begitu tak sabar. Dia ingin Yusufnya datang ke rumahnya, meskipun sekedar silaturahim kepada Ibu dan Bapaknya.
Sopana tidak ingin cinta Yusufnya berkarat. Dia ingin menjadi teman lelaki itu. Tapi teman dalam tanda kutip isyarat Sopana.
***
Ucapan Sopana selalu dikabulkan. Lelaki itu, pagi-pagi sekali mengetuk pintu rumah Sopana. Sebab, Sopana terlalu lama mengatur irama jantungnya dan menghangatkan beku telapak tangannya, akhirnya bapak Sopana yang menyambutnya. Alibi Sopana terlalu percaya diri. Padahal belum tentu Yusufnya itu, akan memegang tangan Sopana. Dia pun menyesal dan tak punya nyali untuk keluar dari kamarnya.
Terdengar sayup-sayup, lelaki itu berniat meminjam cangkul Bapak untuk membersihkan rumput liar di halaman rumahnya. Kali ini, Sopana akan sabar menunggu Yusufnya mengembalikan cangkul Bapaknya.
Senja menjingga-jingga. Seperti tahu isi warna hati Sopana yang menjingga nyala menunggu Yusufnya mengembalikan cangkul Bapaknya.
“Cinta sangat menyepelakan sekali. Sampai hati, cangkul pun menjadi alasanku untuk bertemu dengan pria itu”, Sopana sudah mulai berkhayal.
Lelaki itu benar datang mengembalikan cangkul Bapak Sopana. Kali ini, Sopana sudah bisa mengatur  irama jantungnya. Dia terlihat seperti gadis dewasa yang penuh ketenangan. Senyum mempesona dia rapikan demi menyambut Yusufnya mengembalikan cangkul.
“E…mm …” Ucap lelaki itu kemudian pulang.
“Sama-sama”
Aih… cuma itu saja yang dikatakan lelaki itu kemudian pulang. Sore itu Sopana hatinya begitu riang bukan kepalang. Cinta membuat segalanya menjadi tidak wajar. Bayangkan saja, kalau yang pinjam itu Bang Madun tetangga sebelah, akan lain ceritanya. Sopana pasti bilang judes, tidak tahu terima kasih. Sopana linglung, tak sadar kalau Yusufnya belum mengucapkan terima kasih tapi sudah buru-buru saja Sopana jawab sama-sama. Bayangkan saja betapa menggelikan. Pasti sore itu, lelaki itu akan tertawa terpingkal-pingkal dan merasa dirinya pangeran dari negeri seberang yang membawa mahkota ketampanan.
Sopana semakin yakin kalau Yusufnya juga diam-diam menaruh hati. Dia tampak senang melihat Sopana. Jendela kamar Sopana pun tak pernah nganggur semenjak Sopana dirundung kasmaran yang berlebihan. Di jendela kamarnya, Sopana mulai pura-pura membaca, pura-pura berdiri, pura-pura mengutak-atik handponenya.
Lelaki itu tetap santun. Dia tidak ingin tahu banyak tentang Sopana. Sepertinya, dia juga menikmati kisah itu. Sopana tetap bilang lelakinya itu tidak punya nyali. Kenapa kalau suka tidak bilang saja. Harusnya Yusufnya itu tahu, kalau Sopana begitu berharap dengan kejujurannya.
***
Keinginan Sopana pastilah dikabulkan. Sekian lama, Sopana dan Yusufnya saling mencuri mata. Malam itu, Yusufnya datang ke rumah Sopana dengan membawa kejujurannya. Sopana tak sabar mendengar satu per satu kejujuran dari Yusufnya.
Ibu dan Bapak menyambutnya sebagai tamu istimewa. Mereka tahu, kalau selama ini, Sopana menaruh hati pada lelaki itu. Kejujuran Yusufnya kali itu sungguh menyentuh hati.
“Ibu, Bapak, sehat ?”
“Syukurlah Nak, kami sekeluarga sehat semua”
“Pertama saya ingin bersilaturahim Pak, Bu…”
kedua, saya mohon doa restunya Pak, Bu, saya akan menikah dengan seorang gadis yang sangat saya cintai.
“Syukurlah, siapa gadis yang beruntung itu Nak, tidakkah kau mengenalkan kepada kita”
“Dia dari jauh Pak Bu, nanti kalau ada kesempatan. Saya berniat mengundang Ibu dan Bapak”
Begitulah dialog percakapan yang sekilas Sopana dengar malam itu. Sopana begitu tersentuh hatinya mendengar kejujuran Yusufnya.
Bagaimana tidak, kejujuran lelaki Sopana bagaikan garam yang sengaja ditaburkan pada martabak manisnya. Rasanya tak lagi menjadi manis, asin, atau bahkan gurih sekalipun. Lelaki Sopana terlalu banyak menabur garam pada blacksweet martabak manisnya. Sopana bahkan terisak sejadi-jadinya. Kali ini cintanya benar-benar berkarat. Sopana pun terlihat semakin sekarat. Ibu Sopana terlihat begitu kesulitan menenangkannya.
Sopana terus terisak mengingat akumulasi kisah cintanya. Alasan itukah Yusufnya tak ingin tahu lebih banyak tentang Sopana. Tak ingin tahu nomor telepon Sopana. Dia menangis karena lelakinya terlalu santun. Alasan itukah yang membuat Yusufnya hanya memberikanku cinta sebatas senyuman tipisnya. Aih… Justru bagi Sopana senyum tipis itulah yang sangat menyakitkan.
Sopana terus mengakumulasikan kisah cintanya. Apakah itu alasan Yusufnya melibatkan cangkul Bapak. Apa dia ingin mencangkul seluruh rumput cintaku yang dianggap liar. Sopana mulai menjerit, apa itu permintaan calon istri Yusufnya.
***
Pagi itu Sopana duduk merenung di teras rumahnya. Yusufnya lewat dan menyapanya dengan senyuman tipis seperti biasanya. Kali itu Sopana senyumannya sudah mati. Getar-getar gaib sudah mati. Bahkan darahnya yang biasanya buru-buru berubah beku, barangkali, saat itu sudah menyublim.
Lelaki itu tampak rindu melihat senyum Sopana. Dia tampak rindu melihat jendela kamar Sopana terbuka dengan sikapnya yang selalu berpura-pura.
Ibu Sopana mendekati Sopana yang kehilangan jantungnya sambil berbisik “Jangan mencintai seseorang seperti bunga, karena bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, karena sungai mengalir selamanya. Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Itulah dahsyatnya cinta !”
Sopana menjawab bisikan Ibu dengan tatapan kosong, “hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika aku bertemu seseorang yang sangat berarti bagiku. Hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan aku harus membiarkannya pergi”.
***
Lelaki Sopana kembali lewat dan seperti biasa melihat teras rumah Sopana. Dia tidak mengerti kenapa akhir-akhir itu, Sopana jarang terlihat dan tidak tersenyum lagi. “Apakah dia marah padaku ?” Ucap lelaki itu.
Pada saat itu, pagi, siang, senja, dan malam tidak lagi menampakkan senyumnya. Bulan semakin merengut kecut mendengar alibi lelaki-Yusuf Sopana-mendengus. Awan pun terlihat berkabung, melihat mata Sopana yang selalu kosong. Senja berkata’ “Apa gara-gara cinta, sehingga Sopana sampai seperti ini ?”, Bulan kala itu mendengar ucapan senja dan berkata, “Aih,,, bukan_bukan, kalau seperti itu, pastilah tak akan ada Aku dan Kau… ”, Awan pun segera menyahut, “Diam, semuanya omong kosong, kalian semua tidak akan tahu apa itu cinta. Sangat membingungkan!!!”








Sulfiyani yang lahir di Kota Kudus, Jateng, pada 23 April 1991, adalah mahasiswi Jurusan Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Menggeluti beberapa organisasi, pergerakan mahasiswa (di PMII) dan Sekolah kepenulisan di bawah naungan penerbit, Obsesi Press dan STAIN Press.
Penulis produktif cerita anak dan dongeng yang dimuat diberbagai media.
Karya pertama yang terantologikan berupa Essai yang meraih juara III tingkat mahasiswa se-Purwokerto, 2011.
Penulis Bunga rampai antologi cerpen “Nyanyian Kesetiaan”, karya mahasiswa se-Indonesia, 2012.
Alamat: Perum Griya Satria 02 Jl. Singasari Blok K-16, Sumampir, Purwokerto Utara.
             
Email: Animentari@gmail.com/ Ani Qudsiy
No. Hp: 083876199566