BLACKSWEET CINTA SOPANA*
Ani
Qudsiy*
Sopana
merenung bingung. Saban kali terbayang senyum tipisnya, dia akan bertambah
bingung. Kalau boleh bertanya, kenapa jantungnya bisa memacu gasnya cepat dan
semakin cepat setiap bertemu. Padahal Sopana merasa tak punya ikatan batin. Barangkali
benar para musisi, penyair, bergegas menyulap kata-kata beraroma cinta
pandangan pertama. Liriknya, syairnya, fragmennya, penuh gelora blacksweet yang begitu nikmat.
Blacksweet cinta
Sopana mungkin agak sama seperti rasa roti, atau barangkali martabak manis.
Manis, asin, gurih. Sopana begitu menikmati sakit yang begitu masokhisme. Meski sekedar melihat,
sungguh getaran-getaran gaib itu sangat menghipnotis. Kalau boleh, Sopana ingin
sekali berkenalan dengannya.
“Pria
itu terlalu angkuh. Terlalu jual mahal. Bagaimana bisa, pria itu tak tertarik
padaku” Sopana ingin cari perhatian. Esok, pagi-pagi sekali, dia akan lewat
depan rumah lelaki itu.
Sopana
sudah berputar macam towaf tujuh kali putaran bolak-balik depan rumah sampai
belakang gang rumah. Lelaki yang dinantinya ternyata tak segera menampakan
sosoknya. Sopana mengakhiri joggingnya dengan peluh yang deras mengucur.
Cinta
sungguh senang mempermainkan peran. Baru saja masuk rumah, lelaki itu lewat.
Dia tampak melihat teras rumah dengan senyum tipisnya yang terus mengembang.
Jantung Sopana semakin berdebar. Dia menyesal mengapa harus membuka korden
jendela.
“Jika
saja aku masih di depan pintu barang sebentar saja, pasti pria itu melihat
balasan senyuman dariku” Sopana benar-benar sedang dipermainkan oleh cinta.
Sopana asyik dengan kisahnya. Dia gadis
pendatang. Beruntungnya dia, belum lama pindahan, sudah dapat pekerjaan.
Walhasil sebagai batu loncatan sekalian cari jodoh. Aih… beruntungnya baru
datang sudah menabung lelaki pujaan. Tinggal berdekatan, bisa lihat jendela
rumah lelaki itu lewat jendela kamar Sopana. Sungguh, macam drama-drama di
televisi.
“Ketampanan
pria itu macam Nabi Yusuf. Fiuh… pantaslah kalau kau begitu angkuh” Sopana
selalu begitu.
***
Malam
itu Sopana sengaja duduk di teras depan. Sambil menunggu lelaki itu pulang. Dia
benar-benar kasmaran. Tak tau malu. Perempuan kok cari muka sama lelaki yang
belum dikenal. Aih… cinta tak akan pernah kehabisan cerita. Bahkan dia dapat
mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit
menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan
menjadi rahmat.
Lelaki
itu tak kunjung pulang. Sopana begitu mengantuk. Dia pun segera masuk. Musim
dingin. “Sedingin hatiku jika tak melihat Yusufku barang sebentar”, keluh
Sopana. Kata-kata Sopana setajam silet, tentu dikabulkan. Baru dia menutup
korden jendela, lelaki itu pulang dengan senyum kebiasaannya. Dia melihat teras
rumah. Senyum tipisnya menghilangkan lelah kuyu sebab kerjanya. Sopana hanya
bisa teriak dan menggerutu, kenapa tak sabar menunggu Yusufnya pulang, barang
tambah sebentar. Tapi waktu selalu menyimpan rahasia.
Langit
nampak menertawakan Sopana. Tapi bulan sepertinya tahu hati Sopana. dia tampak
merengut di sekelilingi awan yang kelabu. Sopana bergegas tidur. Dia ingin
bertemu Yusufnya lewat mimpi. Senyum Sopana mengembang lalu tertidur sampai
matahari tengah mengambang.
Sopana
cepat-cepat membasuh muka. Dia tak ingin melewatkan Yusufnya. Dia bersiap-siap,
berharap akan berpapasan saat berangkat kerja. Benarlah ucapan Sopana selalu
dikabulkan. Lelaki itu mengangguk pelan dengan senyuman tipis kebiasaannya.
Sopana bingung mengatur irama jantungnya. Dia tak tahu diuntung. Sudah
berpapasan langsung harusnya dia mengangguk dengan senyuman. Aih, ternyara
Sopana hanya melongo melihat Yusufnya. Macam, burung dungu. Sopana kemudian
menyesali sikapnya. Cinta sungguh pandai bermain peran.
Getaran-getaran
gaib itu semakin menjadi-jadi. Sopana semakin tergila-gila. Semua itu sudah terlihat
dari sikapnya yang sekian menggila. Tapi, Sopana tak punya nyali. Dia hanya
bisa menabur dan menebar pesona. Dia terlalu yakin kalau Yusufnya juga merasa
getar-getar gaib ketika melihatnya. Sungguh terlalu yakin.
***
Sampai
detik ini, menit ini, jam ini, Sopana masih belum tahu siapa nama Yusufnya. Dia
terlalu tenggelam menikmati kisahnya yang sakit-masokhisme-cinta.
“Pria
macam apa dia, kenapa tak ingin tahu siapa namaku. Atau nomor teleponku”,
Sopana terlalu percaya diri.
Setiap
kali bertemu lelaki itu, Sopana masih tak bisa mengatur irama jantungnya.
Sikapnya terlalu transparan kalau sedang dimabuk cinta. Malu harusnya. Tapi,
Sopana sudah tak mengerti malu.
Akhir-akhir
ini, lelaki itu tidak tersenyum tipis. Dia tersenyum lebar setiap melihat sikap
Sopana yang begitu menggelitik geli. Pernah sekali Sopana tiba-tiba melambaikan
tangan kepada lelaki itu. Itu sungguh tidak wajar kalau belum kenal. Sopana
sendiri merasa linglung dengan sikapnya. Sungguh menggelikan.
Lelaki
itu tak pernah besar kepala. Dia bahkan tak meremehkan serangkaian gelagat
Sopana. Dia hanya berisyarat seolah belum berniat kawin cepat-cepat. Dia selalu
santun dan pandai menata irama jantungnya ketika bertemu dengan Sopana. Tapi,
Sopana terlihat begitu tak sabar. Dia ingin Yusufnya datang ke rumahnya,
meskipun sekedar silaturahim kepada Ibu dan Bapaknya.
Sopana
tidak ingin cinta Yusufnya berkarat. Dia ingin menjadi teman lelaki itu. Tapi
teman dalam tanda kutip isyarat Sopana.
***
Ucapan
Sopana selalu dikabulkan. Lelaki itu, pagi-pagi sekali mengetuk pintu rumah
Sopana. Sebab, Sopana terlalu lama mengatur irama jantungnya dan menghangatkan
beku telapak tangannya, akhirnya bapak Sopana yang menyambutnya. Alibi Sopana
terlalu percaya diri. Padahal belum tentu Yusufnya itu, akan memegang tangan
Sopana. Dia pun menyesal dan tak punya nyali untuk keluar dari kamarnya.
Terdengar
sayup-sayup, lelaki itu berniat meminjam cangkul Bapak untuk membersihkan
rumput liar di halaman rumahnya. Kali ini, Sopana akan sabar menunggu Yusufnya
mengembalikan cangkul Bapaknya.
Senja
menjingga-jingga. Seperti tahu isi warna hati Sopana yang menjingga nyala
menunggu Yusufnya mengembalikan cangkul Bapaknya.
“Cinta
sangat menyepelakan sekali. Sampai hati, cangkul pun menjadi alasanku untuk
bertemu dengan pria itu”, Sopana sudah mulai berkhayal.
Lelaki
itu benar datang mengembalikan cangkul Bapak Sopana. Kali ini, Sopana sudah
bisa mengatur irama jantungnya. Dia
terlihat seperti gadis dewasa yang penuh ketenangan. Senyum mempesona dia
rapikan demi menyambut Yusufnya mengembalikan cangkul.
“E…mm
…” Ucap lelaki itu kemudian pulang.
“Sama-sama”
Aih…
cuma itu saja yang dikatakan lelaki itu kemudian pulang. Sore itu Sopana
hatinya begitu riang bukan kepalang. Cinta membuat segalanya menjadi tidak
wajar. Bayangkan saja, kalau yang pinjam itu Bang Madun tetangga sebelah, akan
lain ceritanya. Sopana pasti bilang judes, tidak tahu terima kasih. Sopana
linglung, tak sadar kalau Yusufnya belum mengucapkan terima kasih tapi sudah
buru-buru saja Sopana jawab sama-sama. Bayangkan saja betapa menggelikan. Pasti
sore itu, lelaki itu akan tertawa terpingkal-pingkal dan merasa dirinya
pangeran dari negeri seberang yang membawa mahkota ketampanan.
Sopana
semakin yakin kalau Yusufnya juga diam-diam menaruh hati. Dia tampak senang
melihat Sopana. Jendela kamar Sopana pun tak pernah nganggur semenjak Sopana
dirundung kasmaran yang berlebihan. Di jendela kamarnya, Sopana mulai pura-pura
membaca, pura-pura berdiri, pura-pura mengutak-atik handponenya.
Lelaki
itu tetap santun. Dia tidak ingin tahu banyak tentang Sopana. Sepertinya, dia
juga menikmati kisah itu.
Sopana tetap bilang lelakinya itu tidak punya nyali. Kenapa kalau suka tidak
bilang saja. Harusnya Yusufnya itu tahu, kalau Sopana begitu berharap dengan
kejujurannya.
***
Keinginan
Sopana pastilah dikabulkan. Sekian lama, Sopana dan Yusufnya saling mencuri
mata. Malam itu, Yusufnya datang ke rumah Sopana dengan membawa kejujurannya.
Sopana tak sabar mendengar satu per satu kejujuran dari Yusufnya.
Ibu
dan Bapak menyambutnya sebagai tamu istimewa. Mereka tahu, kalau selama ini,
Sopana menaruh hati pada lelaki itu. Kejujuran Yusufnya kali itu sungguh
menyentuh hati.
“Ibu,
Bapak, sehat ?”
“Syukurlah
Nak, kami sekeluarga sehat semua”
“Pertama
saya ingin bersilaturahim Pak, Bu…”
kedua,
saya mohon doa restunya Pak, Bu, saya akan menikah dengan seorang gadis yang
sangat saya cintai.
“Syukurlah,
siapa gadis yang beruntung itu Nak, tidakkah kau mengenalkan kepada kita”
“Dia
dari jauh Pak Bu, nanti kalau ada kesempatan. Saya berniat mengundang Ibu dan
Bapak”
Begitulah
dialog percakapan yang sekilas Sopana dengar malam itu. Sopana begitu tersentuh
hatinya mendengar kejujuran Yusufnya.
Bagaimana tidak, kejujuran lelaki Sopana bagaikan
garam yang sengaja ditaburkan pada martabak manisnya. Rasanya tak lagi menjadi
manis, asin, atau bahkan gurih sekalipun. Lelaki Sopana terlalu banyak menabur
garam pada blacksweet martabak
manisnya. Sopana bahkan terisak sejadi-jadinya. Kali ini cintanya benar-benar berkarat. Sopana pun
terlihat semakin sekarat. Ibu Sopana terlihat begitu kesulitan
menenangkannya.
Sopana
terus terisak mengingat akumulasi kisah cintanya. Alasan itukah Yusufnya tak
ingin tahu lebih banyak tentang Sopana. Tak ingin tahu nomor telepon Sopana.
Dia menangis karena lelakinya terlalu santun. Alasan itukah yang membuat
Yusufnya hanya memberikanku cinta sebatas senyuman tipisnya. Aih… Justru bagi
Sopana senyum tipis itulah yang sangat menyakitkan.
Sopana
terus mengakumulasikan kisah cintanya. Apakah itu alasan Yusufnya melibatkan
cangkul Bapak. Apa dia ingin mencangkul seluruh rumput cintaku yang dianggap
liar. Sopana mulai menjerit, apa itu permintaan calon istri Yusufnya.
***
Pagi
itu Sopana duduk merenung di teras rumahnya. Yusufnya lewat dan menyapanya
dengan senyuman tipis seperti biasanya. Kali itu Sopana senyumannya sudah mati.
Getar-getar gaib sudah mati. Bahkan darahnya yang biasanya buru-buru berubah
beku, barangkali, saat itu sudah menyublim.
Lelaki
itu tampak rindu melihat senyum Sopana. Dia tampak rindu melihat jendela kamar
Sopana terbuka dengan sikapnya yang selalu berpura-pura.
Ibu
Sopana mendekati Sopana yang kehilangan jantungnya sambil berbisik “Jangan mencintai
seseorang seperti bunga, karena bunga mati kala musim berganti. Cintailah
mereka seperti sungai, karena sungai mengalir selamanya. Cinta mampu melunakkan
besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan
padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Itulah dahsyatnya cinta !”
Sopana
menjawab bisikan Ibu dengan tatapan kosong, “hal yang menyedihkan dalam hidup
adalah ketika aku bertemu seseorang yang sangat berarti bagiku. Hanya untuk
menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan aku harus membiarkannya
pergi”.
***
Lelaki
Sopana kembali lewat dan seperti biasa melihat teras rumah Sopana. Dia tidak
mengerti kenapa akhir-akhir itu, Sopana jarang terlihat dan tidak tersenyum
lagi. “Apakah dia marah padaku ?” Ucap lelaki itu.
Pada
saat itu, pagi, siang, senja, dan malam tidak lagi menampakkan senyumnya. Bulan
semakin merengut kecut mendengar alibi lelaki-Yusuf Sopana-mendengus. Awan pun
terlihat berkabung, melihat mata Sopana yang selalu kosong. Senja berkata’ “Apa
gara-gara cinta, sehingga Sopana sampai seperti ini ?”, Bulan kala itu
mendengar ucapan senja dan berkata, “Aih,,, bukan_bukan, kalau seperti itu,
pastilah tak akan ada Aku dan Kau… ”, Awan pun segera menyahut, “Diam, semuanya
omong kosong, kalian semua tidak akan tahu apa itu cinta. Sangat
membingungkan!!!”
Sulfiyani yang
lahir di Kota Kudus, Jateng, pada 23 April 1991, adalah mahasiswi Jurusan Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Purwokerto. Menggeluti beberapa organisasi,
pergerakan mahasiswa (di PMII) dan Sekolah kepenulisan di bawah naungan
penerbit, Obsesi Press dan STAIN Press.
Penulis
produktif cerita anak dan dongeng yang dimuat diberbagai media.
Karya
pertama yang terantologikan berupa Essai yang meraih juara III tingkat
mahasiswa se-Purwokerto, 2011.
Penulis
Bunga rampai antologi cerpen “Nyanyian Kesetiaan”, karya mahasiswa
se-Indonesia, 2012.
Alamat: Perum Griya Satria
02 Jl. Singasari Blok K-16, Sumampir, Purwokerto Utara.
No. Hp: 083876199566