B
I D . . . Ayah dan Tika
Ani Qudsiy*
Hari
minggu, Tika mengajakku main ke rumahnya. Tika, menjemputku dengan sepedanya
yang dinamai Pinky.
“Kiren,
cepetan keluar” terdengar suara Tika yang sudah siap dengan Pinky di balik
pagar.
“Iya,
tunggu bentar.”
Aku
membonceng Tika berangkat menaiki Pinky menyusuri jalan berkelok menuju rumah
Tika. Jarak rumahku dan Tika kurang lebih sekitar satu setengah kilometer saja.
Agak jauh memang. Tapi kalau sudah terbiasa pasti terasa dekat.
Setiap
berangkat sekolah Tika pasti lewat depan rumahku. Pagi itu, aku juga sudah
bersiap-siap diantar Ibu. Ibu berangkat kerja. Jadi sekalian aku diantar ke
sekolah. Persahabatanku dengan Tika berawal dari sini. Wajar saja kalau
sekarang kita berdua jadi dekat. Apalagi setiap pulang sekolah aku membonceng
sepeda Pinky Tika.
Tika
selalu tersenyum. Tak sekalipun terlihat wajah muram meskipun aku tahu saat itu
dia sedih. Seperti ketika Tika kehilangan uang yang jumlahnya terhitung banyak.
Ternyata uang yang hilang itu uang kelas. Tika memang bendahara kelas jadi uang
yang dipegang lumayan banyak.
“Jangan
sedih ya Tik, nanti pasti ketahuan siapa yang mengambil uangnya” aku berusaha
menghiburnya.
Tika
malah tersenyum dan berkata, “kenapa aku harus sedih. Justru aku bahagia karena
Tuhan mengingatkanku supaya aku banyak bersyukur. Sudah lama aku nggak beramal.
Jadi, uang kelas yang hilang aku mengikhlaskannya. Nanti akan aku ganti pakai
uang tabunganku.”
Ooh…
bahagianya menjadi Tika. Aku teringat ucapan Tika waktu itu yang seperti orang sudah dewasa saja. Sembari
menikmati pemandangan sawah. Aku pun bertanya tentang ucapan Tika waktu itu. “Oh
iya, waktu kamu kehilangan uang kelas, kamu bilang bahagia karena sudah
diingatkan oleh Tuhan kalau kamu jarang beramal. Kalau boleh tahu siapa yang
mengajari kamu Tik?”
Tika
menjawab dengan senyumannya yang terlalu manis, “Bid… Ayah !!!”
“Apa
itu Bid… Ayah, Tik ?”
“Nanti
di rumah kamu akan tahu sendiri. Yuk turun kita sudah sampai.”
Belum
sampai tanganku mengetuk pintu. Ibu Tika sudah duluan membukakan pintu.
“Selamat
datang putri cantik” terdengar suara sambutan dari Ibu Tika yang terlihat
cantik dan santun dengan jilbab biru muda.
Aku
bergegas mencium tangan Ibu Tika. Sambil tertegun mendengar teriakan Tika yang
sedang memarkir si Pinky.
“Bid,
masak apa tadi, Tika dan Kiren sudah lapar.”
Aku
tersenyum geli mendengar ucapan Tika.
“Bid,
tadi buatkan kerupuk bayam sama bakwan buat cemilan dulu.”
Setelah
dipersilahkan masuk terlihat Ayah Tika sedang membaca koran di sofa depan
televisi. Aku menyapanya lalu menghampiri dan mencium tangannya.
“Ini
ya yang namanya Kiren sahabat putri cantik Ayah” kata Ayah Tika.
“Eh…
sekarang putri cantiknya ada dua Yah” kata Ibu Tika sambil membawa toples dan
piring berisi makanan yang dijanjikan.
Tika
tersenyum melihatku salah tingkah dan tersipu malu. Tiba-tiba Ayah Tika
memanggil Ibu Tika, “Bid, tolong Ayah dibuatkan teh.”
Sejak
di jalan sampai tiba di rumah Tika terdengar panggilan yang aneh yaitu Bid. Ow…
sekarang aku mengerti. Bid Ayah itu, ternyata Ibunya Tika pikirku. Tika lalu
mengajaku ke kamarnya.
Aku
tidak sabar mendengar penjelasan dari Tika. Kenapa dia dan Ayahnya memanggil
Ibunya dengan panggilan Bid.
“Tik,
biasanya panggilan buat Ibu itu kan bunda, mama, dan sebagainya. Tapi dari tadi
kamu dan Ayah memanggil Ibu kok Bid sih ?”
“Bid
itu singkatan dari bidadari. Aku dan Ayah mengganggap semua Ibu adalah seorang
bidadari. Ibu yang telah mengandung kita sembilan bulan lamanya. Telah
melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya. Setelah itu beliau yang merawat
kita sampai sekarang. Beliau juga mengajarkan kita tentang pengtahuan seperti
apa yang aku katakan saat aku kehilangan uang kelas. Jadi apa salahnya kalau
aku dan Ayah memanggilnya dengan panggilan istimewa itu.”
Aku
mengangguk dan terharu teringat Ibuku. “ Ow iya Tik, Ibuku juga sekarang sedang
bekerja membanting tulang. Sejak Ayahku meninggal, Ibu lah yang memenuhi semua
kebutuhanku.”
Tika
lalu memeluku dengan membisiki telingaku, “tenang saja, jangan bersedih, kamu
boleh menganggap Ayah sebagai Ayahmu juga.”
Air
mataku pun menetes. “Tik, mulai sekarang aku boleh kan ikut-ikutan memanggil
ibuku dengan panggilan Bid ?”
“Tentu
saja.”
Bahagianya
aku mempunyai sahabat seperti Tika. Mulai sekarang aku punya Bid. Seperti Bid
Ayah dan Tika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar