Rabu, 28 Mei 2014

B I D . . . Ayah dan Tika



B I D . . . Ayah dan Tika

Ani Qudsiy*

Hari minggu, Tika mengajakku main ke rumahnya. Tika, menjemputku dengan sepedanya yang dinamai Pinky.
“Kiren, cepetan keluar” terdengar suara Tika yang sudah siap dengan Pinky di balik pagar.
“Iya, tunggu bentar.”
Aku membonceng Tika berangkat menaiki Pinky menyusuri jalan berkelok menuju rumah Tika. Jarak rumahku dan Tika kurang lebih sekitar satu setengah kilometer saja. Agak jauh memang. Tapi kalau sudah terbiasa pasti terasa dekat.
Setiap berangkat sekolah Tika pasti lewat depan rumahku. Pagi itu, aku juga sudah bersiap-siap diantar Ibu. Ibu berangkat kerja. Jadi sekalian aku diantar ke sekolah. Persahabatanku dengan Tika berawal dari sini. Wajar saja kalau sekarang kita berdua jadi dekat. Apalagi setiap pulang sekolah aku membonceng sepeda Pinky Tika.
Tika selalu tersenyum. Tak sekalipun terlihat wajah muram meskipun aku tahu saat itu dia sedih. Seperti ketika Tika kehilangan uang yang jumlahnya terhitung banyak. Ternyata uang yang hilang itu uang kelas. Tika memang bendahara kelas jadi uang yang dipegang lumayan banyak.
“Jangan sedih ya Tik, nanti pasti ketahuan siapa yang mengambil uangnya” aku berusaha menghiburnya.
Tika malah tersenyum dan berkata, “kenapa aku harus sedih. Justru aku bahagia karena Tuhan mengingatkanku supaya aku banyak bersyukur. Sudah lama aku nggak beramal. Jadi, uang kelas yang hilang aku mengikhlaskannya. Nanti akan aku ganti pakai uang tabunganku.”

Ooh… bahagianya menjadi Tika. Aku teringat ucapan Tika waktu itu yang  seperti orang sudah dewasa saja. Sembari menikmati pemandangan sawah. Aku pun bertanya tentang ucapan Tika waktu itu. “Oh iya, waktu kamu kehilangan uang kelas, kamu bilang bahagia karena sudah diingatkan oleh Tuhan kalau kamu jarang beramal. Kalau boleh tahu siapa yang mengajari kamu Tik?”
Tika menjawab dengan senyumannya yang terlalu manis, “Bid… Ayah !!!”
“Apa itu Bid… Ayah, Tik ?”
“Nanti di rumah kamu akan tahu sendiri. Yuk turun kita sudah sampai.”
Belum sampai tanganku mengetuk pintu. Ibu Tika sudah duluan membukakan pintu.
“Selamat datang putri cantik” terdengar suara sambutan dari Ibu Tika yang terlihat cantik dan santun dengan jilbab biru muda.
Aku bergegas mencium tangan Ibu Tika. Sambil tertegun mendengar teriakan Tika yang sedang memarkir si Pinky.
“Bid, masak apa tadi, Tika dan Kiren sudah lapar.”
Aku tersenyum geli mendengar ucapan Tika.
“Bid, tadi buatkan kerupuk bayam sama bakwan buat cemilan dulu.”
Setelah dipersilahkan masuk terlihat Ayah Tika sedang membaca koran di sofa depan televisi. Aku menyapanya lalu menghampiri dan mencium tangannya.
“Ini ya yang namanya Kiren sahabat putri cantik Ayah” kata Ayah Tika.
“Eh… sekarang putri cantiknya ada dua Yah” kata Ibu Tika sambil membawa toples dan piring berisi makanan yang dijanjikan.
Tika tersenyum melihatku salah tingkah dan tersipu malu. Tiba-tiba Ayah Tika memanggil Ibu Tika, “Bid, tolong Ayah dibuatkan teh.”
Sejak di jalan sampai tiba di rumah Tika terdengar panggilan yang aneh yaitu Bid. Ow… sekarang aku mengerti. Bid Ayah itu, ternyata Ibunya Tika pikirku. Tika lalu mengajaku ke kamarnya.
Aku tidak sabar mendengar penjelasan dari Tika. Kenapa dia dan Ayahnya memanggil Ibunya dengan panggilan Bid.
“Tik, biasanya panggilan buat Ibu itu kan bunda, mama, dan sebagainya. Tapi dari tadi kamu dan Ayah memanggil Ibu kok Bid sih ?”
“Bid itu singkatan dari bidadari. Aku dan Ayah mengganggap semua Ibu adalah seorang bidadari. Ibu yang telah mengandung kita sembilan bulan lamanya. Telah melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya. Setelah itu beliau yang merawat kita sampai sekarang. Beliau juga mengajarkan kita tentang pengtahuan seperti apa yang aku katakan saat aku kehilangan uang kelas. Jadi apa salahnya kalau aku dan Ayah memanggilnya dengan panggilan istimewa itu.”
Aku mengangguk dan terharu teringat Ibuku. “ Ow iya Tik, Ibuku juga sekarang sedang bekerja membanting tulang. Sejak Ayahku meninggal, Ibu lah yang memenuhi semua kebutuhanku.”
Tika lalu memeluku dengan membisiki telingaku, “tenang saja, jangan bersedih, kamu boleh menganggap Ayah sebagai Ayahmu juga.”
Air mataku pun menetes. “Tik, mulai sekarang aku boleh kan ikut-ikutan memanggil ibuku dengan panggilan Bid ?”
“Tentu saja.”
Bahagianya aku mempunyai sahabat seperti Tika. Mulai sekarang aku punya Bid. Seperti Bid Ayah dan Tika.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar