Rabu, 28 Mei 2014

Kisah Tujuh Belas



Kisah Tujuh Belas

Ani Qudsiy*

Bulan Agustus telah tiba. Itu artinya, ulang tahun Republik Indonesia tinggal sebentar lagi. Seperti biasa, sekolahku pasti mengadakan lomba-lomba untuk menyambut tujuh belasan. Dalam benakku pasti lomba kali ini tak jauh beda sama lomba tujuh belasan seperti tahun-tahun lalu.
“Paling acara lomba itu-itu saja. Kalau nggak makan kerupuk, ya balap karung, sama lomba kelereng.”
Deni, ketua kelasku memberi pengumuman menyambut tujuh belas Agustus. “Teman-teman, kepala sekolah memberi pengumuman bahwa dalam memperingati tujuh belas Agustus, sekolah kita akan mengadakan lomba. Kegiatan yang akan dilombakan antara lain baca tulis puisi temanya bebas, menyanyikan dua lagu (lagu nasional sebagai lagu wajib dan lagu kesukaan masing-masing peserta lomba), dan menari tarian daerah (bebas)” dengan suara lantang bak tentara begitulah gaya Deni kalau sedang memimpin kelas atau pun menyampaikan pengumuman.
Teman-teman kelasku kaget mendengar pengumuman yang baru saja Deni sampaikan. “Aduh gimana ya, kok lomba tahun ini berbeda sama lomba tujuh belasan tahun kemaren. Aku kan nggak bisa menulis puisi, menyanyi, apalagi menari” keluh Ceri.
Di bangku sebelah terdengar suara Rani, “aku sih bisa buat puisi tapi sayang aku nggak pede baca puisi di depan teman-teman nanti.”
“Kalau aku kebetulan bisa menari, dulu Ibuku kan mantan penari Bali” kata Sridevi dengan semangat.
Menyusuri jalan pulang, aku sedih kalau mengingat pengumuman tadi. Apalagi kalau ingat Bapakku yang hanya kerja sebagai pengamen. Sebetulnya, lomba ini bisa aku jadikan penolong buat menambah penghasilan Bapak. Hadiah lomba kali ini lumayan besar. “Ah, menyebalkan, kenapa lombanya nggak balap karung, makan kerupuk, atau lomba kelereng. Kalau lomba itu, aku kan bisa jadi pemenang balap karung dan makan kerupuk.”
Tok… tok… tok… “Ibu, bukakan pintu, Karim sudah pulang.”
“Muka kok ditekuk begitu to le, lapar ya ?” ledek Ibu.
Aku pun memberi tahu Ibu soal lomba tujuh belasan yang akan diadakan sekolahku nanti. Eh… Ibu hanya tersenyum dan berkata, “kenapa harus sedih begitu le, segala sesuatu kan harus dicoba dulu. Jangan buru-uru bilang ndak bisa lalu putus asa.”
“Nasihat Ibu ada benarnya juga.” Pikiranku terpusat pada Bapak. Yah, Bapak kan, pinter nyanyi. Buktinya sembari Bapak ngamen, Bapak dipercaya mengajar nyanyi di rumah Sari, Wawan, dan Niko. Mereka kan anak orang-orang kaya yang mengupah Bapak sampai akhirnya aku ndak jadi putus sekolah.
Aku tidak sabar menunggu Bapak pulang. Aku akan meminta Bapak supaya mengajariku menyanyi. Akhirnya Bapak pulang, aku akan menceritakan semua kepada Bapak.
“Oh… begitu to le… Baiklah sekarang gunakan waktu sebaik mungkin buat belajar nyanyi ya. Bapak akan mengajarimu.”
Ah… aku menyesal mengingat tawaran Bapak dulu yang berniat mengajariku nyanyi. Dulu aku berfikir, aku ndak mau nyanyi karena aku takut Bapak akan menyuruhku ikut ngamen juga seperti beliau. Oh… ternyata semua dugaanku salah. Sekarang aku tahu menyanyi itu bagian dari seni yang berharga.
Tanggal tujuh belas Agustus telah tiba. Sekolahku masuk jam tujuh tepat karena ada upacara bendera. Upacara bendera telah selese. Aku dan teman-temanku bersiap-siap mengikuti lomba. Lomba ini akan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah lomba menari tarian daerah, selanjutnya tahap kedua dan ketiga adalah lomba membaca hasil puisi yang ditulis, dan menyanyi. Giliran tahap pertama tiba. Muncul Sridevi yang sudah berubah menjadi anggun dengan pakaian ala adat Bali. Sungguh menawan tariannya. Aku rasa dia pantas jadi pemenang karena dia mewarisi Ibunya yang pintar menari.
Sorak-sorak semakin bergemuruh. Penampilan teman-temanku sangat memukau. Aku semakin tidak percaya diri dengan kemampuanku. Aku tidak yakin penampilanku bisa maksimal. Lomba tahap kedua dimulai. Sekarang, terlihat Ceri membacakan puisi yang berjudul “Indonesia Tercinta”. Ceri terlihat gugup, tapi tak apalah, puisinya cukup bagus buat penolong rasa canggungnya.
Dag… dig… dug… tahap ketiga sudah tiba. Itu artinya sekarang giliranku. Aduh… aku berjalan gemetaran dan berusaha tenang.
Di atas kepala terdengar suara Bapak tadi pagi saat aku berpamitan, “saat tampil, kamu harus tenang ya le, tatapanmu lurus saja kalau kamu malu atau takut melihat teman-temanmu. Jangan berfikir yang aneh-aneh, ndak usah peduli sama teriakan teman-temanmu, tetap konsentrasi saja.”
Yah, lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” sudah beres. Aku nggak percaya, kalau penampilanku tadi berhasil. “Syukulah, sekarang tinggal menyanyikan lagu pilihanku sendiri dan Bapak. Aku memilih lagu “Rasa Sayange.” Huh, nggak nyangka teman-teman ikut menirukan suaraku.
Aku berhasil. Aku nggak peduli penampilanku bagus apa sebaliknya. Yang pasti aku sudah berusaha melakukan yang terbaik.
Saatnya, Pak Adi mengumumkan pemenangnya. Singkatnya, aku jadi juara dua. Oh… aku begitu bahagia. Tujuh belas Agustus yang membahagiakan. Semoga Bapak dan Ibu ikut bahagia. Aku pulang dengan senyuman, membawa piala dan uang untuk Bapak dan Ibu. Kali ini aku akan menyanyi, dan terus menyanyi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar