Kisah
Tujuh Belas
Ani
Qudsiy*
Bulan Agustus telah
tiba. Itu artinya, ulang tahun Republik Indonesia tinggal sebentar lagi.
Seperti biasa, sekolahku pasti mengadakan lomba-lomba untuk menyambut tujuh
belasan. Dalam benakku pasti lomba kali ini tak jauh beda sama lomba tujuh
belasan seperti tahun-tahun lalu.
“Paling acara lomba
itu-itu saja. Kalau nggak makan kerupuk, ya balap karung, sama lomba kelereng.”
Deni, ketua kelasku
memberi pengumuman menyambut tujuh belas Agustus. “Teman-teman, kepala sekolah
memberi pengumuman bahwa dalam memperingati tujuh belas Agustus, sekolah kita
akan mengadakan lomba. Kegiatan yang akan dilombakan antara lain baca tulis
puisi temanya bebas, menyanyikan dua lagu (lagu nasional sebagai lagu wajib dan
lagu kesukaan masing-masing peserta lomba), dan menari tarian daerah (bebas)”
dengan suara lantang bak tentara begitulah gaya Deni kalau sedang memimpin
kelas atau pun menyampaikan pengumuman.
Teman-teman kelasku
kaget mendengar pengumuman yang baru saja Deni sampaikan. “Aduh gimana ya, kok
lomba tahun ini berbeda sama lomba tujuh belasan tahun kemaren. Aku kan nggak bisa menulis puisi, menyanyi,
apalagi menari” keluh Ceri.
Di bangku sebelah
terdengar suara Rani, “aku sih bisa buat puisi tapi sayang aku nggak pede baca puisi di depan teman-teman
nanti.”
“Kalau aku kebetulan
bisa menari, dulu Ibuku kan mantan penari Bali” kata Sridevi dengan semangat.
Menyusuri jalan pulang,
aku sedih kalau mengingat pengumuman tadi. Apalagi kalau ingat Bapakku yang
hanya kerja sebagai pengamen. Sebetulnya, lomba ini bisa aku jadikan penolong
buat menambah penghasilan Bapak. Hadiah lomba kali ini lumayan besar. “Ah,
menyebalkan, kenapa lombanya nggak balap karung, makan kerupuk, atau lomba
kelereng. Kalau lomba itu, aku kan bisa jadi pemenang balap karung dan makan
kerupuk.”
Tok… tok… tok… “Ibu,
bukakan pintu, Karim sudah pulang.”
“Muka kok ditekuk
begitu to le, lapar ya ?” ledek Ibu.
Aku pun memberi tahu
Ibu soal lomba tujuh belasan yang akan diadakan sekolahku nanti. Eh… Ibu hanya
tersenyum dan berkata, “kenapa harus sedih begitu le, segala sesuatu kan harus dicoba dulu. Jangan buru-uru bilang ndak bisa lalu putus asa.”
“Nasihat Ibu ada
benarnya juga.” Pikiranku terpusat pada Bapak. Yah, Bapak kan, pinter nyanyi.
Buktinya sembari Bapak ngamen, Bapak dipercaya mengajar nyanyi di rumah Sari,
Wawan, dan Niko. Mereka kan anak orang-orang kaya yang mengupah Bapak sampai
akhirnya aku ndak jadi putus sekolah.
Aku tidak sabar
menunggu Bapak pulang. Aku akan meminta Bapak supaya mengajariku menyanyi.
Akhirnya Bapak pulang, aku akan menceritakan semua kepada Bapak.
“Oh… begitu to le… Baiklah sekarang gunakan waktu
sebaik mungkin buat belajar nyanyi ya. Bapak akan mengajarimu.”
Ah… aku menyesal
mengingat tawaran Bapak dulu yang berniat mengajariku nyanyi. Dulu aku
berfikir, aku ndak mau nyanyi karena
aku takut Bapak akan menyuruhku ikut ngamen juga seperti beliau. Oh… ternyata
semua dugaanku salah. Sekarang aku tahu menyanyi itu bagian dari seni yang
berharga.
Tanggal tujuh belas
Agustus telah tiba. Sekolahku masuk jam tujuh tepat karena ada upacara bendera.
Upacara bendera telah selese. Aku dan teman-temanku bersiap-siap mengikuti
lomba. Lomba ini akan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah lomba
menari tarian daerah, selanjutnya tahap kedua dan ketiga adalah lomba membaca
hasil puisi yang ditulis, dan menyanyi. Giliran tahap pertama tiba. Muncul
Sridevi yang sudah berubah menjadi anggun dengan pakaian ala adat Bali. Sungguh
menawan tariannya. Aku rasa dia pantas jadi pemenang karena dia mewarisi Ibunya
yang pintar menari.
Sorak-sorak semakin
bergemuruh. Penampilan teman-temanku sangat memukau. Aku semakin tidak percaya
diri dengan kemampuanku. Aku tidak yakin penampilanku bisa maksimal. Lomba
tahap kedua dimulai. Sekarang, terlihat Ceri membacakan puisi yang berjudul
“Indonesia Tercinta”. Ceri terlihat gugup, tapi tak apalah, puisinya cukup
bagus buat penolong rasa canggungnya.
Dag… dig… dug… tahap
ketiga sudah tiba. Itu artinya sekarang giliranku. Aduh… aku berjalan gemetaran
dan berusaha tenang.
Di atas kepala
terdengar suara Bapak tadi pagi saat aku berpamitan, “saat tampil, kamu harus
tenang ya le, tatapanmu lurus saja
kalau kamu malu atau takut melihat teman-temanmu. Jangan berfikir yang
aneh-aneh, ndak usah peduli sama
teriakan teman-temanmu, tetap konsentrasi saja.”
Yah, lagu “Satu Nusa Satu
Bangsa” sudah beres. Aku nggak percaya, kalau penampilanku tadi berhasil.
“Syukulah, sekarang tinggal menyanyikan lagu pilihanku sendiri dan Bapak. Aku
memilih lagu “Rasa Sayange.” Huh, nggak nyangka teman-teman ikut menirukan
suaraku.
Aku berhasil. Aku nggak
peduli penampilanku bagus apa sebaliknya. Yang pasti aku sudah berusaha
melakukan yang terbaik.
Saatnya, Pak Adi
mengumumkan pemenangnya. Singkatnya, aku jadi juara dua. Oh… aku begitu
bahagia. Tujuh belas Agustus yang membahagiakan. Semoga Bapak dan Ibu ikut
bahagia. Aku pulang dengan senyuman, membawa piala dan uang untuk Bapak dan
Ibu. Kali ini aku akan menyanyi, dan terus menyanyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar