Senin, 26 Mei 2014

BLACKSWEET CINTA SOPANA*



BLACKSWEET CINTA SOPANA*

Ani Qudsiy*

Sopana merenung bingung. Saban kali terbayang senyum tipisnya, dia akan bertambah bingung. Kalau boleh bertanya, kenapa jantungnya bisa memacu gasnya cepat dan semakin cepat setiap bertemu. Padahal Sopana merasa tak punya ikatan batin. Barangkali benar para musisi, penyair, bergegas menyulap kata-kata beraroma cinta pandangan pertama. Liriknya, syairnya, fragmennya, penuh gelora blacksweet yang begitu nikmat.
Blacksweet cinta Sopana mungkin agak sama seperti rasa roti, atau barangkali martabak manis. Manis, asin, gurih. Sopana begitu menikmati sakit yang begitu masokhisme. Meski sekedar melihat, sungguh getaran-getaran gaib itu sangat menghipnotis. Kalau boleh, Sopana ingin sekali berkenalan dengannya.
“Pria itu terlalu angkuh. Terlalu jual mahal. Bagaimana bisa, pria itu tak tertarik padaku” Sopana ingin cari perhatian. Esok, pagi-pagi sekali, dia akan lewat depan rumah lelaki itu.
Sopana sudah berputar macam towaf tujuh kali putaran bolak-balik depan rumah sampai belakang gang rumah. Lelaki yang dinantinya ternyata tak segera menampakan sosoknya. Sopana mengakhiri joggingnya dengan peluh yang deras mengucur.
Cinta sungguh senang mempermainkan peran. Baru saja masuk rumah, lelaki itu lewat. Dia tampak melihat teras rumah dengan senyum tipisnya yang terus mengembang. Jantung Sopana semakin berdebar. Dia menyesal mengapa harus membuka korden jendela.
“Jika saja aku masih di depan pintu barang sebentar saja, pasti pria itu melihat balasan senyuman dariku” Sopana benar-benar sedang dipermainkan oleh cinta.
 Sopana asyik dengan kisahnya. Dia gadis pendatang. Beruntungnya dia, belum lama pindahan, sudah dapat pekerjaan. Walhasil sebagai batu loncatan sekalian cari jodoh. Aih… beruntungnya baru datang sudah menabung lelaki pujaan. Tinggal berdekatan, bisa lihat jendela rumah lelaki itu lewat jendela kamar Sopana. Sungguh, macam drama-drama di televisi.
“Ketampanan pria itu macam Nabi Yusuf. Fiuh… pantaslah kalau kau begitu angkuh” Sopana selalu begitu.
***
Malam itu Sopana sengaja duduk di teras depan. Sambil menunggu lelaki itu pulang. Dia benar-benar kasmaran. Tak tau malu. Perempuan kok cari muka sama lelaki yang belum dikenal. Aih… cinta tak akan pernah kehabisan cerita. Bahkan dia dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.
Lelaki itu tak kunjung pulang. Sopana begitu mengantuk. Dia pun segera masuk. Musim dingin. “Sedingin hatiku jika tak melihat Yusufku barang sebentar”, keluh Sopana. Kata-kata Sopana setajam silet, tentu dikabulkan. Baru dia menutup korden jendela, lelaki itu pulang dengan senyum kebiasaannya. Dia melihat teras rumah. Senyum tipisnya menghilangkan lelah kuyu sebab kerjanya. Sopana hanya bisa teriak dan menggerutu, kenapa tak sabar menunggu Yusufnya pulang, barang tambah sebentar. Tapi waktu selalu menyimpan rahasia.
Langit nampak menertawakan Sopana. Tapi bulan sepertinya tahu hati Sopana. dia tampak merengut di sekelilingi awan yang kelabu. Sopana bergegas tidur. Dia ingin bertemu Yusufnya lewat mimpi. Senyum Sopana mengembang lalu tertidur sampai matahari tengah mengambang.
Sopana cepat-cepat membasuh muka. Dia tak ingin melewatkan Yusufnya. Dia bersiap-siap, berharap akan berpapasan saat berangkat kerja. Benarlah ucapan Sopana selalu dikabulkan. Lelaki itu mengangguk pelan dengan senyuman tipis kebiasaannya. Sopana bingung mengatur irama jantungnya. Dia tak tahu diuntung. Sudah berpapasan langsung harusnya dia mengangguk dengan senyuman. Aih, ternyara Sopana hanya melongo melihat Yusufnya. Macam, burung dungu. Sopana kemudian menyesali sikapnya. Cinta sungguh pandai bermain peran.
Getaran-getaran gaib itu semakin menjadi-jadi. Sopana semakin tergila-gila. Semua itu sudah terlihat dari sikapnya yang sekian menggila. Tapi, Sopana tak punya nyali. Dia hanya bisa menabur dan menebar pesona. Dia terlalu yakin kalau Yusufnya juga merasa getar-getar gaib ketika melihatnya. Sungguh terlalu yakin.
***
Sampai detik ini, menit ini, jam ini, Sopana masih belum tahu siapa nama Yusufnya. Dia terlalu tenggelam menikmati kisahnya yang sakit-masokhisme-cinta.
“Pria macam apa dia, kenapa tak ingin tahu siapa namaku. Atau nomor teleponku”, Sopana terlalu percaya diri.
Setiap kali bertemu lelaki itu, Sopana masih tak bisa mengatur irama jantungnya. Sikapnya terlalu transparan kalau sedang dimabuk cinta. Malu harusnya. Tapi, Sopana sudah tak mengerti malu.
Akhir-akhir ini, lelaki itu tidak tersenyum tipis. Dia tersenyum lebar setiap melihat sikap Sopana yang begitu menggelitik geli. Pernah sekali Sopana tiba-tiba melambaikan tangan kepada lelaki itu. Itu sungguh tidak wajar kalau belum kenal. Sopana sendiri merasa linglung dengan sikapnya. Sungguh menggelikan.
Lelaki itu tak pernah besar kepala. Dia bahkan tak meremehkan serangkaian gelagat Sopana. Dia hanya berisyarat seolah belum berniat kawin cepat-cepat. Dia selalu santun dan pandai menata irama jantungnya ketika bertemu dengan Sopana. Tapi, Sopana terlihat begitu tak sabar. Dia ingin Yusufnya datang ke rumahnya, meskipun sekedar silaturahim kepada Ibu dan Bapaknya.
Sopana tidak ingin cinta Yusufnya berkarat. Dia ingin menjadi teman lelaki itu. Tapi teman dalam tanda kutip isyarat Sopana.
***
Ucapan Sopana selalu dikabulkan. Lelaki itu, pagi-pagi sekali mengetuk pintu rumah Sopana. Sebab, Sopana terlalu lama mengatur irama jantungnya dan menghangatkan beku telapak tangannya, akhirnya bapak Sopana yang menyambutnya. Alibi Sopana terlalu percaya diri. Padahal belum tentu Yusufnya itu, akan memegang tangan Sopana. Dia pun menyesal dan tak punya nyali untuk keluar dari kamarnya.
Terdengar sayup-sayup, lelaki itu berniat meminjam cangkul Bapak untuk membersihkan rumput liar di halaman rumahnya. Kali ini, Sopana akan sabar menunggu Yusufnya mengembalikan cangkul Bapaknya.
Senja menjingga-jingga. Seperti tahu isi warna hati Sopana yang menjingga nyala menunggu Yusufnya mengembalikan cangkul Bapaknya.
“Cinta sangat menyepelakan sekali. Sampai hati, cangkul pun menjadi alasanku untuk bertemu dengan pria itu”, Sopana sudah mulai berkhayal.
Lelaki itu benar datang mengembalikan cangkul Bapak Sopana. Kali ini, Sopana sudah bisa mengatur  irama jantungnya. Dia terlihat seperti gadis dewasa yang penuh ketenangan. Senyum mempesona dia rapikan demi menyambut Yusufnya mengembalikan cangkul.
“E…mm …” Ucap lelaki itu kemudian pulang.
“Sama-sama”
Aih… cuma itu saja yang dikatakan lelaki itu kemudian pulang. Sore itu Sopana hatinya begitu riang bukan kepalang. Cinta membuat segalanya menjadi tidak wajar. Bayangkan saja, kalau yang pinjam itu Bang Madun tetangga sebelah, akan lain ceritanya. Sopana pasti bilang judes, tidak tahu terima kasih. Sopana linglung, tak sadar kalau Yusufnya belum mengucapkan terima kasih tapi sudah buru-buru saja Sopana jawab sama-sama. Bayangkan saja betapa menggelikan. Pasti sore itu, lelaki itu akan tertawa terpingkal-pingkal dan merasa dirinya pangeran dari negeri seberang yang membawa mahkota ketampanan.
Sopana semakin yakin kalau Yusufnya juga diam-diam menaruh hati. Dia tampak senang melihat Sopana. Jendela kamar Sopana pun tak pernah nganggur semenjak Sopana dirundung kasmaran yang berlebihan. Di jendela kamarnya, Sopana mulai pura-pura membaca, pura-pura berdiri, pura-pura mengutak-atik handponenya.
Lelaki itu tetap santun. Dia tidak ingin tahu banyak tentang Sopana. Sepertinya, dia juga menikmati kisah itu. Sopana tetap bilang lelakinya itu tidak punya nyali. Kenapa kalau suka tidak bilang saja. Harusnya Yusufnya itu tahu, kalau Sopana begitu berharap dengan kejujurannya.
***
Keinginan Sopana pastilah dikabulkan. Sekian lama, Sopana dan Yusufnya saling mencuri mata. Malam itu, Yusufnya datang ke rumah Sopana dengan membawa kejujurannya. Sopana tak sabar mendengar satu per satu kejujuran dari Yusufnya.
Ibu dan Bapak menyambutnya sebagai tamu istimewa. Mereka tahu, kalau selama ini, Sopana menaruh hati pada lelaki itu. Kejujuran Yusufnya kali itu sungguh menyentuh hati.
“Ibu, Bapak, sehat ?”
“Syukurlah Nak, kami sekeluarga sehat semua”
“Pertama saya ingin bersilaturahim Pak, Bu…”
kedua, saya mohon doa restunya Pak, Bu, saya akan menikah dengan seorang gadis yang sangat saya cintai.
“Syukurlah, siapa gadis yang beruntung itu Nak, tidakkah kau mengenalkan kepada kita”
“Dia dari jauh Pak Bu, nanti kalau ada kesempatan. Saya berniat mengundang Ibu dan Bapak”
Begitulah dialog percakapan yang sekilas Sopana dengar malam itu. Sopana begitu tersentuh hatinya mendengar kejujuran Yusufnya.
Bagaimana tidak, kejujuran lelaki Sopana bagaikan garam yang sengaja ditaburkan pada martabak manisnya. Rasanya tak lagi menjadi manis, asin, atau bahkan gurih sekalipun. Lelaki Sopana terlalu banyak menabur garam pada blacksweet martabak manisnya. Sopana bahkan terisak sejadi-jadinya. Kali ini cintanya benar-benar berkarat. Sopana pun terlihat semakin sekarat. Ibu Sopana terlihat begitu kesulitan menenangkannya.
Sopana terus terisak mengingat akumulasi kisah cintanya. Alasan itukah Yusufnya tak ingin tahu lebih banyak tentang Sopana. Tak ingin tahu nomor telepon Sopana. Dia menangis karena lelakinya terlalu santun. Alasan itukah yang membuat Yusufnya hanya memberikanku cinta sebatas senyuman tipisnya. Aih… Justru bagi Sopana senyum tipis itulah yang sangat menyakitkan.
Sopana terus mengakumulasikan kisah cintanya. Apakah itu alasan Yusufnya melibatkan cangkul Bapak. Apa dia ingin mencangkul seluruh rumput cintaku yang dianggap liar. Sopana mulai menjerit, apa itu permintaan calon istri Yusufnya.
***
Pagi itu Sopana duduk merenung di teras rumahnya. Yusufnya lewat dan menyapanya dengan senyuman tipis seperti biasanya. Kali itu Sopana senyumannya sudah mati. Getar-getar gaib sudah mati. Bahkan darahnya yang biasanya buru-buru berubah beku, barangkali, saat itu sudah menyublim.
Lelaki itu tampak rindu melihat senyum Sopana. Dia tampak rindu melihat jendela kamar Sopana terbuka dengan sikapnya yang selalu berpura-pura.
Ibu Sopana mendekati Sopana yang kehilangan jantungnya sambil berbisik “Jangan mencintai seseorang seperti bunga, karena bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, karena sungai mengalir selamanya. Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Itulah dahsyatnya cinta !”
Sopana menjawab bisikan Ibu dengan tatapan kosong, “hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika aku bertemu seseorang yang sangat berarti bagiku. Hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan aku harus membiarkannya pergi”.
***
Lelaki Sopana kembali lewat dan seperti biasa melihat teras rumah Sopana. Dia tidak mengerti kenapa akhir-akhir itu, Sopana jarang terlihat dan tidak tersenyum lagi. “Apakah dia marah padaku ?” Ucap lelaki itu.
Pada saat itu, pagi, siang, senja, dan malam tidak lagi menampakkan senyumnya. Bulan semakin merengut kecut mendengar alibi lelaki-Yusuf Sopana-mendengus. Awan pun terlihat berkabung, melihat mata Sopana yang selalu kosong. Senja berkata’ “Apa gara-gara cinta, sehingga Sopana sampai seperti ini ?”, Bulan kala itu mendengar ucapan senja dan berkata, “Aih,,, bukan_bukan, kalau seperti itu, pastilah tak akan ada Aku dan Kau… ”, Awan pun segera menyahut, “Diam, semuanya omong kosong, kalian semua tidak akan tahu apa itu cinta. Sangat membingungkan!!!”








Sulfiyani yang lahir di Kota Kudus, Jateng, pada 23 April 1991, adalah mahasiswi Jurusan Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Menggeluti beberapa organisasi, pergerakan mahasiswa (di PMII) dan Sekolah kepenulisan di bawah naungan penerbit, Obsesi Press dan STAIN Press.
Penulis produktif cerita anak dan dongeng yang dimuat diberbagai media.
Karya pertama yang terantologikan berupa Essai yang meraih juara III tingkat mahasiswa se-Purwokerto, 2011.
Penulis Bunga rampai antologi cerpen “Nyanyian Kesetiaan”, karya mahasiswa se-Indonesia, 2012.
Alamat: Perum Griya Satria 02 Jl. Singasari Blok K-16, Sumampir, Purwokerto Utara.
             
Email: Animentari@gmail.com/ Ani Qudsiy
No. Hp: 083876199566

Tidak ada komentar:

Posting Komentar