Rabu, 28 Mei 2014

Kisah Kakek dan Nenek Tua



Kisah Kakek dan Nenek Tua

Ani Qudsiy*

Dahulu, ada sebuah cerita dari sepasang Kakek dan Nenek tua yang yang berhati mulia. Mereka sangat berjasa sekali. Mereka selalu memikirkan orang lain. Terutama untuk desanya. Begini kisahnya…
Pohon-pohon menjulang tinggi. Daun-daun terjatuh di atas tanah yang begitu subur. Cacing-cacing juga bergembira ria menikmati gemburnya tanah sehingga mereka bisa keluar masuk tanah dengan mudah. Semut-semut mondar-mandir mengambil air untuk bayi-bayinya. Air dari sungai Tanor mengalir begitu berlimpah. Ulat-ulat kecil bermain-main, badannya jungkat-jungkit seperti kegelian di atas daun-daun. Begitulah pemandangan di sekitar gubuk sederhana milik kakek dan nenek yang terbiasa dipanggil Mbah Dok. Masyarakat desa Gladok memanggil kakek dan nenek tua itu dengan panggilan yang sama. Kakek dan nenek tua itu dianggap sebagai sesepuh desa.
“Alam sudah menyediakan makanan untuk kita hidup ya Nek !” kata Kakek Dok.
“Iya Kek, kita memang seharusnya bersyukur” jawab Nenek Dok.
Kedua Mbah Dok itu tinggal di sebuah desa yang kaya dengan makanan. Semua makanan diperoleh dari hasil menanam sendiri. Kedua Mbah Dok selalu mengajari warganya supaya selalu bersyukur kepada Tuhan. Hal itulah yang membuat Mbah Dok dihormati oleh orang-orang desa Gladok.
Padi, sayur-mayur, tumbuhan palawija, dan umbi-umbian adalah sebagian tanaman yang selalu menghiasi kebun orang-orang desa tersebut. Dengan begitu, orang-orang desa bisa langsung memetik tanaman dan diolah menjadi makanan sehari-hari. Kedua Mbah Dok juga selalu mengajarkan sikap gotong royong kepada orang-orang desa. Seperti, saling membantu kalau ada warga yang mau panen padi, membangun rumah, dan sebagainya.
Pada suatu ketika, kedua Mbah Dok berfikir bagaimana caranya supaya orang-orang desa Gladok bisa menjangkau desa tetangga dan bisa bersaudara dengan desa-desa seberang yang lain. Kedua Mbah Dok menyadari kalau selama ini warganya hidup makmur tapi tidak tahu dunia luar desanya. Sungai Tanor menjadi pemisah antara letak desa Gladok dan desa seberang. “Supaya cucu-cucu kita bisa bermain ke desa seberang mereka harus menyeberangi sungai Tanor” kata Kakek Dok.
Kedua Mbah Dok itu tidak ingin anak-cucunya bisanya hanya menanam tanaman. Masa yang akan datang pasti berbeda dengan masanya sekarang. Kedua Mbah Dok memikirkan nasib anak cucunya kelak. Mereka lalu merenung supaya mendapatkan ide.
“Kita harus menanam pohon Nek !” kata Kakek Dok.
“Untuk apa pohon buat cucu kita Kek, desa kita juga sudah banyak pohon. Nenek rasa pohon-pohon yang kita tanam sudah cukup untuk persediaan cucu-cucu kita nanti” jawab Nenek Dok.
“Maksud Kakek itu, kita harus menanam pohon sebagai jembatan. Pohon akar yang akan kita tanam. Akar-akar itu nantilah yang akan menghubungkan desa ini dengan desa seberang. Pohon akar kalau sudah besar dan tua, akarnya akan menjalar melewati sungai. Semakin lama semakin kuat dan menjadi jembatan. Cucu kita bisa melanglang buana menjalin persaudaraan dengan desa-desa seberang” jelas Kakek Dok.
Ide Kakek dan Nenek tua itu tidak hanya membuat desa Gladok semakin makmur, tetapi juga semakin aman. Persaudaraan dengan desa seberang memberi rasa aman bagi desa Gladok. Antar desa bisa saling melindungi. Bukan hanya itu saja, desa Gladok juga aman dari ancaman bencana alam, karena pohon akar mampu menyerap air supaya tanah tidak gembur dan menjadikan longsor.
Seperti itulah riwayat kedua Kakek dan Nenek tua. Pohon akar yang ditanam oleh sepasang Kakek dan Nenek tua itu, tidak hanya menghubungkan desa satu dengan desa lainnya. Pohon akar itulah yang membuat anak-anak desa Gladok bisa sekolah ke desa seberang, bahkan orang-orang desa setiap hari bisa hilir mudik membawa hasil tanamannya untuk dijual ke pasar yang terletak di desa seberang sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar