Kisah
Kakek dan Nenek Tua
Ani
Qudsiy*
Dahulu, ada sebuah
cerita dari sepasang Kakek dan Nenek tua yang yang berhati mulia. Mereka sangat
berjasa sekali. Mereka selalu memikirkan orang lain. Terutama untuk desanya.
Begini kisahnya…
Pohon-pohon menjulang tinggi.
Daun-daun terjatuh di atas tanah yang begitu subur. Cacing-cacing juga
bergembira ria menikmati gemburnya tanah sehingga mereka bisa keluar masuk
tanah dengan mudah. Semut-semut mondar-mandir mengambil air untuk bayi-bayinya.
Air dari sungai Tanor mengalir begitu berlimpah. Ulat-ulat kecil bermain-main,
badannya jungkat-jungkit seperti kegelian di atas daun-daun. Begitulah
pemandangan di sekitar gubuk sederhana milik kakek dan nenek yang terbiasa
dipanggil Mbah Dok. Masyarakat desa Gladok memanggil kakek dan nenek tua itu
dengan panggilan yang sama. Kakek dan nenek tua itu dianggap sebagai sesepuh
desa.
“Alam sudah menyediakan
makanan untuk kita hidup ya Nek !” kata Kakek Dok.
“Iya Kek, kita memang
seharusnya bersyukur” jawab Nenek Dok.
Kedua Mbah Dok itu tinggal
di sebuah desa yang kaya dengan makanan. Semua makanan diperoleh dari hasil
menanam sendiri. Kedua Mbah Dok selalu mengajari warganya supaya selalu
bersyukur kepada Tuhan. Hal itulah yang membuat Mbah Dok dihormati oleh
orang-orang desa Gladok.
Padi, sayur-mayur,
tumbuhan palawija, dan umbi-umbian adalah sebagian tanaman yang selalu
menghiasi kebun orang-orang desa tersebut. Dengan begitu, orang-orang desa bisa
langsung memetik tanaman dan diolah menjadi makanan sehari-hari. Kedua Mbah Dok
juga selalu mengajarkan sikap gotong royong kepada orang-orang desa. Seperti,
saling membantu kalau ada warga yang mau panen padi, membangun rumah, dan
sebagainya.
Pada suatu ketika,
kedua Mbah Dok berfikir bagaimana caranya supaya orang-orang desa Gladok bisa
menjangkau desa tetangga dan bisa bersaudara dengan desa-desa seberang yang
lain. Kedua Mbah Dok menyadari kalau selama ini warganya hidup makmur tapi
tidak tahu dunia luar desanya. Sungai Tanor menjadi pemisah antara letak desa Gladok
dan desa seberang. “Supaya cucu-cucu kita bisa bermain ke desa seberang mereka harus
menyeberangi sungai Tanor” kata Kakek Dok.
Kedua Mbah Dok itu
tidak ingin anak-cucunya bisanya hanya menanam tanaman. Masa yang akan datang
pasti berbeda dengan masanya sekarang. Kedua Mbah Dok memikirkan nasib anak
cucunya kelak. Mereka lalu merenung supaya mendapatkan ide.
“Kita harus menanam
pohon Nek !” kata Kakek Dok.
“Untuk apa pohon buat
cucu kita Kek, desa kita juga sudah banyak pohon. Nenek rasa pohon-pohon yang
kita tanam sudah cukup untuk persediaan cucu-cucu kita nanti” jawab Nenek Dok.
“Maksud Kakek itu, kita
harus menanam pohon sebagai jembatan. Pohon akar yang akan kita tanam. Akar-akar
itu nantilah yang akan menghubungkan desa ini dengan desa seberang. Pohon akar
kalau sudah besar dan tua, akarnya akan menjalar melewati sungai. Semakin lama
semakin kuat dan menjadi jembatan. Cucu kita bisa melanglang buana menjalin
persaudaraan dengan desa-desa seberang” jelas Kakek Dok.
Ide Kakek dan Nenek tua
itu tidak hanya membuat desa Gladok semakin makmur, tetapi juga semakin aman.
Persaudaraan dengan desa seberang memberi rasa aman bagi desa Gladok. Antar
desa bisa saling melindungi. Bukan hanya itu saja, desa Gladok juga aman dari
ancaman bencana alam, karena pohon akar mampu menyerap air supaya tanah tidak
gembur dan menjadikan longsor.
Seperti itulah riwayat
kedua Kakek dan Nenek tua. Pohon akar yang ditanam oleh sepasang Kakek dan
Nenek tua itu, tidak hanya menghubungkan desa satu dengan desa lainnya. Pohon
akar itulah yang membuat anak-anak desa Gladok bisa sekolah ke desa seberang,
bahkan orang-orang desa setiap hari bisa hilir mudik membawa hasil tanamannya
untuk dijual ke pasar yang terletak di desa seberang sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar